Meletupnya aksi massa antirezim Moammar Khadafy di Libya, sepekan terakhir, menguak kegagalan sistem politik kerakyatan yang diperkenalkan Khadafy sejak Maret 1977. Berbagai pihak di kalangan pemerintahan Libya sama sekali tidak menyangka gerakan massa prodemokrasi begitu cepat menular dari Tunisia dan Mesir ke Libya.
Gerakan massa antirezim Khadafy meletup sejak Senin pekan lalu, yakni hanya beberapa hari setelah kemenangan revolusi rakyat di Mesir yang berhasil menumbangkan rezim Hosni Mubarak pada Jumat 11 Februari lalu.
Aksi unjuk rasa anti-Khadafy di kota Benghazi, yang terletak tak jauh dari perbatasan Mesir, cukup layak disebut terinspirasi oleh revolusi rakyat di Mesir saat ini. Libya secara historis tak terpisahkan dari perkembangan di Mesir. Khadafy, ketika melakukan kudeta terhadap Raja Idris tahun 1969, terinspirasi oleh aksi kudeta Gamal Abdel Nasser dan kawan-kawan terhadap Raja Farouk tahun 1952.
Otoritas Libya kini sangat mencemaskan kota-kota di bagian timur negeri itu yang tak jauh dari perbatasan dengan Mesir, seperti Benghazi, Tobruk, dan Bayda, terjangkit revolusi seperti di Mesir.
Bagi rakyat Libya, masalah ekonomi memang tidak seburuk yang dialami rakyat Mesir, Tunisia, Yaman, dan Aljazair. Namun, secara kehidupan politik, rakyat Libya bisa lebih buruk dibandingkan dengan rakyat Mesir, Yaman, dan Aljazair.
Sejauh ini gerakan anti-Khadafy memang lebih menggulirkan isu politik daripada ekonomi.
Hingga saat ini belum ada tanda-tanda pemerintahan Khadafy memberikan konsesi terhadap tuntutan rakyatnya itu.
Khadafy pun tampak tidak mengindahkan komunike yang ditandatangani 213 tokoh Libya dari berbagai kalangan yang berasal dari aktivis politik, dokter, pengacara, pengusaha, wartawan, mantan duta besar, dosen, pegawai negeri, dan insinyur. Mereka menamakan sebagai korban perang Chad. Libya dan Chad pernah terlibat perang perbatasan pada tahun 1980-an.
Mereka menuntut hak rakyat Libya mengungkapkan pendapatnya melalui aksi unjuk rasa damai tanpa ada ancaman kekerasan dari rezim.
Mereka juga menuntut dilakukan peralihan kekuasaan secara damai di Libya dalam upaya membawa ke arah menjadi negara yang terbuka dan pluralis serta menganut sistem multipartai.
Ditegaskan pula, rakyat Libya bisa bergerak mengambil alih kekuasaan dengan cara turun ke jalan dalam upaya menentukan masa depan politik, sosial, dan ekonomi mereka.
Sebaliknya pemerintahan Khadafy sudah memberikan peringatan keras agar pemuda Libya tidak terpengaruh dan ikut-ikutan pemuda Tunisia dan Mesir. Rezim Khadafy pun mempersiapkan sedemikian rupa dengan mempersenjatai para anggota Komite Rakyat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya aksi massa antirezim itu.
Gerakan Komite Rakyat adalah tulang punggung dan ujung tombak pertahanan rezim Khadafy. Komite Rakyat adalah semacam partai politik yang berkuasa di Libya. Konsep politik Khadafy tidak mengakui sistem partai politik yang dianggap pengkhianat. Khadafy dalam teorinya dalam ”buku hijau” mengadopsi sistem kerakyatan dan negeri Libya disebut ”Republik Kerakyatan Libya”.
Komite Rakyat memiliki milisi bersenjata yang diperkirakan berjumlah 10.000 hingga 15.000 personel.
Namun, Komite Rakyat ternyata gagal total meredam aksi unjuk rasa antirezim Khadafy di kota-kota bagian timur, seperti Benghazi, Bayda, dan Tobruk. Bahkan, aksi unjuk rasa pemuda antirezim Khadafy mulai menjalar ke kota-kota bagian barat, seperti Masrata dan Zawiyah, dekat ibu kota Tripoli.
Sempat dipertanyakan, ke mana Komite Rakyat yang telah mendapat berbagai fasilitas dari rezim Khadafy? Dan ada pula yang mengatakan, jatuhnya korban tewas dan luka-luka dalam jumlah besar dari para pemuda pengunjuk rasa akibat tindakan milisi Komite Rakyat yang tidak profesional. Berbagai sumber menyebut, apa yang terjadi di kota Benghazi adalah pembantaian.
Milisi Komite Rakyat dituduh tidak mendapat latihan secukupnya serta kurang mendapat bekal budaya dan pendidikan yang layak dalam menghadapi aksi unjuk rasa.
0 comments:
Post a Comment
Terimakasih telah memberikan komentar di web ini. Semoga membantu dan bermanfaat.