Dasar Dasar Pendidikan
1. Arti dan Masksud Pendidikan
Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersamasama.
Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli.
Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan
‘pengajaran’ (onderwijs) itu
merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak
lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup
anak-anak, baik lahir maupun batin.
Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja
saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, pendidikan
mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran
hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang
berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya
juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara
lebih luas.
Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk,
syaratsyarat dan alat-alat dalam soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan
dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau
garis-garis yang sama.
Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita
saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan
dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala
kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota
masyarakat.
2. Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatankekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh
perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya
sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya
dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara
tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang
mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman
pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodratiradatnya padi.
Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai
jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut
seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang
benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga
menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak
dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah
pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi
hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.
3. Perlukah
Tuntunan Pendidikan itu?
Meskpun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat
keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu
anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya.
Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan,
tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih
memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan
kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu
ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak
yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk,
kemudian menjadi orangorang jahat.
Menurut ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan
itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga
garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi
satu.
Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia,
sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuhkembangnya
tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah
yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka
pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau
tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat
jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air,
maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik
karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya,
akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani,
maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga
tidak baik dasarnya.
4. Dasar
Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan
Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan
jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di
luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di
dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran
yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan. Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti
sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas
yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya
untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan
teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik).
Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak diakui
kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.
5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang
berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat
berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang
berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak
dapat berubah lagi selama hidup.
Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan
pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan
sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk
menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’
yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang
berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa,
rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya.
Rasa-rasa itu tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga
menjadi orang dewasa.
Seringkali anak yang penakut, sesudah
mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut.
Sebenarnya anak itu bukan berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya
saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan
pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu
sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat
menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena ketakuannya itu
hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang diserang
rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak
bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan
takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri.
6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti
Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia
sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap
manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh
lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai
dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu keliatan kikir, walaupun orang
tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh
pendidikannnya yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat
kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan
orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.
Janganlah pendidik itu berputus asa kerana menganggap
tabiattabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama
sekali. Memang benar kecerdasan intelligible
(hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak
baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat,
ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak
baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh
baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat
mewujudkan kepribadian (persoonlikjkheid)
dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan), maka ia akan selalu dapat
mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis tadi.
Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving
is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian
menurut pengajaran adat atau etika.
Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’
diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai
‘karakter’, yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai
kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai
ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti
bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah
membedakan orang yang satu dengan yang lainnya.
Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai
manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan
dalam arti neutraliseeren (menutup,
mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama
sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa.
7. Jenis-Jenis Budi Pekerti
Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu
dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga
harus mengetahui pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi,
sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama.
Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam
atau jenis (typen), sehingga orang
dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang
secara umum.
Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis tesrbut
berdasarkan pada sifat angan-angan, sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis). kemudian, tiga sifat itu
digabungkan menjadi satu (synthetis);
sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu
pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr.
Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan
disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang.
Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis
berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun
Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada
Hasrat orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch),
2. Agama (religious mench), 3.
Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan
atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau
kenyataan (wetenschaps) dan 6.
Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale
mensch).
Dalam soal watak atau budi pekerti manusia, jangan
dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat pengaruh dari yang menurunkan
(eferlijkheidsleer).
Jadi , sama pula dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang
(sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendektingginya badan, dan
lain-lain). Jangan dilupakan juga bahwa seperti yang sudah diuraikan
sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada
tumbuhnya budi pekerti.
8. Naluri Pendidikan
Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan
dijelaskan pada uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian
khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam pendidikan
yang teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku
di tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan
dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni keinginan dan
kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan
bahagia. Naluri atau instinct
disebabkan pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan
keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de
sort).
Pendidikan yang dilakukan
oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada
cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan
seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan
kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan,
maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni
tida berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari
‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).
9. Syarat-Syarat Pengetahuan
Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan
pada pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri
sendiri, akan tetapi masih berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu
syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen),
yang terbagi menjajdi 5 jenis, yaitu:
1.
Ilmu hidup batin manusia (ilmu
jiwa, psychologie);
1.
Ilmu keadaan atau kesopanan (etika
atau moral);
2.
Ilmu keindahan atau
ketertiban-lahir (estetika);
3.
Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar
cara-cara Pendidikan)
Untuk memahami perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan
tersebut, kita dapat mengadakan perbandingan antara keadaan seorang ‘juru
didik’ dengan tukang pengukir kayu. Seorang pengukir kayu tentu wajib mempunyai
pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakikat atau keadaan kayu. Maksudnya,
ia harus tahu ilmu kayu (lihat no.1 dan no.2 diatas). Pengukir wajib mengetahui
jenis kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk
ukiran yang halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena pendidikan itu
‘mengukir’ manusia, sementara manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka
ilmu kemanusiaan itu ada dua macam, yaitu Ilmu Jiwa (psychologie) dan Ilmu Hidup Jasmani
(fysionlogie),
seperti tersebut pada no.1 dan no.2.
Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan
(ukiranukiran) yang baik, harus mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran.
Bagi seorang pendidik sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan
batin dan lahir (etika dan estetika), karena manusia itu bersifat batin dan
lahir (lihat no.3 dan no.4)
Akhirnya, seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya
ukiran-ukiran yang bagus kalau ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis
ukiran dari pengukir-pengukir lainya, baik zaman sekarang maupun zaman dahulu, di
negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik.
Dengan mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak
perlu memberikan keterangan sendiri secara luas, karena setiap pembaca dapat
membuat keterangan sendiri yang panjang, lebar dan terang.
10. Peralatan Pendidikan
Yang dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok,
yakni caracara mendidik. Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam
banyaknya, akan tetapi pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti
berikut:
1. Memberi contoh (voorbeld);
2.
Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)
3.
Pengajaran (wulang-wuruk, leering)
4. Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);
5. Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);
6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).
Cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan
ada kaum pendidik yang tidak sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para
pendidik dari pihak vrije opvoeding
(Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat nomor 4 (perintah, paksaan,
hukuman). Seringkali pendidik menggunakan salah satu cara saja dan pada umumnya
disesuaikan dengan keadaankeadaan tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur
anak-anak didik.
11. Hubungan dengan Umur
Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa
ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa
terbentuknya budi pekerti (sociale
periode).
Apabila alat-alat atau cara-cara Pendidikan di atas
dihubungkan dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara
sesuai dengan umur tersebut:
a)
Masa kanak-kanak: cara no.1 dan
no.2;
b) Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;
c) Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6
0 comments:
Post a Comment
Terimakasih telah memberikan komentar di web ini. Semoga membantu dan bermanfaat.